Setiap pagi, sekitar jam enam lewat lima belas, motor Beat kesayanganku sudah masuk halaman sekolah. Tas di punggung, jaket masih belum sempat dilepas, langsung menuju gerbang depan. Di situ tempat favoritku: menyapa anak-anak satu per satu.
Ada yang datang sambil tertawa, ada yang buru-buru karena hampir telat, ada juga yang datang diam tapi matanya masih setengah melek. Semua aku sapa — “Selamat pagi!”, “Semangat ya hari ini!”, “Awas helmnya jangan lupa dilepas dulu!”
Hal-hal kecil kayak gini, entah kenapa bikin pagi terasa hidup.
Sekolah kami memang kecil, tapi suasananya nggak pernah sepi. Dari suara sapu yang nyapu halaman, sampai anak-anak yang latihan baris di lapangan. Kadang aku cuma berdiri di gerbang, memperhatikan satu-satu. Anak yang bantu temannya, yang jujur ngaku lupa PR, atau yang lari karena takut telat. Semua jadi cerita.
Jam masuk berbunyi. Aku keliling sebentar, mampir ke kelas. Lihat guru lagi ngajar, anak-anak lagi nulis, atau sekadar ngobrol ringan dengan guru piket di lorong. Nggak ada yang mewah, tapi semuanya nyata.


